×

Selasa, 05 Maret 2024

MEMAHAMI RUKYAT HILAL GLOBAL

 Ustadz Hafidz Abdurrahman 


Alhamdulillah bulan suci akan menaungi umat Islam sedunia, itulah Ramadhan tamu istimewa


sekaligus syiar Islam yang mulia. Namun sangat disayangkan, Ramadhan yang semestinya jadi simbol kesatuan umat terkadang terganggu oleh kasus perbedaan awal dan akhir Ramadhan.


Hal ini merupakan masalah yang kerap terjadi di dunia Islam. Antara satu negara dengan negara lain. Tentunya di era globalisasi informasi dan kecanggihan teknologi komunikasi dewasa ini, perbedaan tersebut mengusik pikiran kita.


Jika siaran langsung shalat tarawih dari Masjid Haram sepanjang bulan Ramadhan dapat diikuti kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, tapi mengapa tak bisa diadakan siaran langsung informasi rukyatul hilal dan kesamaan awal dan akhir Ramadhan?


Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi objek pengamatan guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu. Sebab bulan bagi planet bumi kita memang hanya ada satu.


Faktor Penyebab Perbedaan


Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, menurut analisis sebagian pemikir muslim bisa terjadi karena tiga faktor: (1) faktor astronomi, (2) fikih dan (3) faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah jelas yang paling dominan.


Secara politik, umat Islam kini hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap kepala negara menentukan awal dan akhir Ramadhannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan nash-nash syara’. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqaha, nampaknya hanya dijadikan dalil sekunder atau bahkan sekedar justifikasi.


Dalil primernya adalah kekuasaan dan fanatisme atas wilayah negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni.


Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 325 juta terpecah dalam sekitar 24 negara? Indonesia, Malaysia, Brunei, yang serumpun pun menjadi negara-negara yang terpisah. Bukankah seharusnya 1,7 miliar kaum muslimin di dunia hidup dalam satu naungan negara, sebagaimana masa peradaban Islam dahulu!


Faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu, termasuk dalam penentuan awal-akhir Ramadhan. Misalnya, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999.


Sehingga 1 Ramadhan jatuh tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.


Pada tahun 2012, ada sebagian umat Islam di Indonesia yang berpuasa 1 Ramadhan pada Kamis 19/7/2012, ada yang Jumat 20/7/2012, sedangkan pemerintah kala itu memutuskan puasa pada Sabtu 21/7/2012.


Adapun muslim di belahan negeri yang lain (seperti Timur Tengah, Eropa, dan Asia) menetapkan awal puasa Ramadhan Jumat 20/7/2012. Jadi, perbedaan karena faktor politik kebangsaan inilah yang menjadikan umat Islam tidak bersatu dalam puasa Ramadhan.


Problem Mathla’ Modern


Mengenai perbedaan mathla’ (tempat-waktu terbitnya hilal), yang digunakan sebagian kalangan sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri, sebenarnya merupakan manâth (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji para ulama terdahulu.


Fakta saat itu, kaum muslim memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah Khilafah Umayyah atau Abbasiyyah yang teramat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi yang terbatas. Namun, kini fakta telah berubah.


Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla’) digunakan menjadi tidak logis dan mempersulit diri sendiri. Dalam konsep mathla’, setiap daerah yang berjarak 24 farsakh atau 133 km memiliki mathla’ sendiri. Artinya, penduduk Jakarta dan sekitarnya dalam radius 133 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan di Cakung, tanpa terikat dengan hasil rukyat di Pelabuhan Ratu.


Penduduk Surabaya dan sekitarnya hanya terikat dengan rukyat di Tanjung Kodok tanpa perlu terikat rukyat di Makassar, demikian seterusnya. Dengan konsep mathla’ wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu, tentu akan disintegrasi menjadi 39 mathla’.


Karena kesulitan itu sebagian kalangan konon mencipkatan ‘mazhab’ baru yakni wilayah al-hukmi, yakni penyamaan awal dan akhir Ramadhan diserahkan pada negara nasional masing-masing. Pertanyaan kita, apa landasan syar’i yang membolehkan wilayah kaum muslimin terpecah menjadi lebih dari 50 negara, yakni lebih dari 50 wilayatul hukmi?


Bukankah Islam hanya mengajarkan satu wilayatul hukmi untuk seluruh dunia, sebagaimana masa keemasan Khulafa ar-Rasyidin! Adapun dalil yang sering digunakan demi membenarkan adanya lebih dari satu mathla’ dalam menentukan awal-akhir Ramadhan adalah riwayat dari Kuraib. Suatu ketika, Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib menghadap Mu’awiyah di Syam.


Kuraib berkata; Aku pun datang ke Syam dan menyampaikan keperluannya kepadanya. Ketika itu aku melihat hilal awal Ramadhan pada saat masih berada di Syam, aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku sampai di Madinah pada akhir bulan.


Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ia bertanya, “Kapan kalian melihatnya?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Ia bertanya lagi, “Apakah kamu yang melihatnya?” Aku menjawab, “Ya, orang-orang juga melihatnya sehingga mereka mulai melaksanakan puasa begitu juga Mu’awiyah.”


Ibnu ‘Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Dan kami pun sekarang masih berpuasa untuk menggenapkannya menjadi tiga puluh hari atau hingga kami melihat hilal.”


Aku pun bertanya, “Tidakkah cukup bagimu mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ia menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim, 1819).


Jadi, Ibnu ‘Abbas tidak mengakui rukyat Mu’awiyah, dan tidak berpuasa mengikuti puasa Mu’awiyah. Pernyataan tersebut sejatinya tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara’, sebab hanyalah ijtihad Ibnu ‘Abbas dalam memahami hadist “Shûmû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi.” Imam asy-Syaukani rahimahullah dengan teliti menjelaskan:


واعلم أن الحجة إنما هي في المرفوع من رواية ابن عباس لا في اجتهاده الذي فهم عنه الناس والمشار إليه بقوله: هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم


Ketahuilah, yang menjadi hujjah hanya hadits marfu yang dituturkan Ibnu ‘Abbas saja, sedangkan ijtihad Ibnu ‘Abbas yang dipahami orang dan ditunjukkan dengan perkataannya “Beginilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami” tidak bisa menjadi hujjah. (Nail al-Authâr, IV/230).


Selain itu, ijtihad Ibnu ‘Abbas ini juga lemah, karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan dari sejumlah kaum Anshar:


أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا، وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ


“Kami terhalang melihat hilal Syawal, sehingga pagi harinya tetap berpuasa. Lalu, datang di penghujung siang itu rombongan. Mereka bersaksi di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kemarin telah melihat hilal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan mereka membatalkan puasa, kemudian besoknya semua berangkat melaksanakan shalat Id.”


(HR. Ahmad, 19675; Ibnu Majah, 1643; dishahihkan Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm).


Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas telah memerintahkan mereka membatalkan puasa pada hari yang mereka sangka Ramadhan, karena penduduk lain di luar Madinah telah melihat hilal Syawal.


Saat ini, sarana informasi sangat canggih, sehingga dalam satu menit, informasi awal-akhir Ramadhan, termasuk Hari Arafah dan Idul Fitri-Adha ini bisa dishare ke seluruh dunia. Kaum muslim pun bisa melaksanakan puasa dan berhari raya di hari yang sama.


Urgensi Rukyat Hilal Global


Sesuai argumentasi terkuat, syariah Islam menjelaskan bahwa rukyat hilal merupakan sabab (ketentuan) dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa dirukyat, maka puasa dilakukan setelah istikmâl (digenapakan) bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Misal, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ


“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR. Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).


Berdasarkan hadits seperti itu, lahirlah ijma’ ulama bahwa hisab astronomis (al-hisâb al-falaki) tidak boleh dijadikan sandaran menentukan masuknya awal bulan Qamariyah. Ijma’ ini diriwayatkan Ibnu Mundzir, Ibnu Taimiyah, Abul Walid al-Baji, Ibnu Rusyd, al-Qurthubi, Ibnu Hajar, al-‘Aini, Ibnu Abidin, dan asy-Syaukani.


(Lihat, Majmu’ al-Fatawa, XXV/132; Fathul Bari, IV/158; Tafsir al-Qurthubi, II/293; Hasyiyah Ibnu Abidin, III/408; Bidayatul Mujtahid, II/557). Ibnu Rusyd (w. 1198 M) rahimahullah menyampaikan:


إنّ العلماء أجمعوا على أنّ الشهر العربي يكون تسعاً وعشرين، ويكون ثلاثين، وعلى أن الاعتبار في تحديد شهر رمضان إنّما هو الرؤية


Para ulama menyepakati, bulan di kalangan Arab ada dua puluh sembilan dan ada yang tiga puluh hari, namun tolok ukur penentuan bulan Ramadhan hanya berdasarkan rukyat semata (bukan hisab).


Lebih lanjut, ini menunjukan bahwa umat Islam semestinya berpatokan pada rukyat hilal global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur.


Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1941 M) rahimahullah menjelaskan:


إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية: إذا ثبتت رؤية الهلال في جهة وجب على أهل الجهة القريبة منها من كل ناحية أن يصوموا بناء على هذا للثبوت، والقرب يحصل باتحاد المطلع، بأن يكون بينهما أقل من أربعة وعشرين فرسخاً تحديداً، أما أهل الجهة البعيدة، فلا يجب عليهم الصوم بهذه الرؤية لاختلاف المطلع


Apabila rukyat hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri yang lain wajib juga berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila informasi rukyat hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa.


Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat lain: Apabila rukyat hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa.


Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan rukyat ini, karena terdapat perbedaan mathla’. (Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, I/550).


Di sisi lain, meski ulama syafi’iyyah berbeda dengan jumhur, ada pula ulama syafi’iyyah lain yang berpedoman pada rukyat global, imam an-Nawawi (w. 1277 M) rahimahullah berkata:


وقال بعض أصحابنا تعم الرؤية في موضع جميع أهل الأرض


Sebagian ulama kalangan kami ada yang berpendapat, satu rukyat berlaku untuk seluruh tempat bagi semua penduduk bumi. (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, V/197). Imam asy-Syaukani (w. 1834 M) rahimahullah menyebutkan:


والذي ينبغي اعتماده هو … أنه إذا رآه أهل بلد، لزم أهل البلاد كلها


Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah: apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (rukyat hilal), maka rukyat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain. (Nail al-Authâr, IV/195). Imam ash-Shan’ani (w. 1768 M) rahimahullah berkata:


فمعنى إذا رأيتموه أي إذا وجدت فيما بينكم الرؤية، فيدل هذا على أن رؤية بلد رؤية لجميع أهل البلاد فيلزم الحكم


Makna dari ungkapan hadits “jika kalian melihatnya” artinya apabila rukyat didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan rukyat pada suatu negeri berlaku bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib. (Subulus Salâm, II/310). Sayyid Sabiq (w. 2000 M) rahimahullah pun menegaskan:


ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع، فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته، وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا


Mayoritas ulama berpendapat, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’. Karena itu, kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”


Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat Islam. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi mereka semuanya. (Fiqh as-Sunnah, I/368). Kata Syaikh Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 M) rahimahullah:


وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية دون تفرقة بين الأقطار


Pendapat jumhur inilah yang kuat menurut saya, sebagai pemersatu ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat diterima lagi di masa sekarang, pasalnya kewajiban puasa itu berkaitan dengan rukyat tanpa pembedaan antar wilayah. (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/610; lihat pula al-Hafizh al-Ghumari, Taujîh al-Anzhâr li Tauhîd al-Muslimîn fi al-Shaum wa al-Ifthâr, hal. 19).


Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur Jauh (benua Asia) melihat bulan sabit Ramadhan, maka hasil rukyatnya wajib diikuti kaum muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah) tanpa kecuali.


Siapapun kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan rukyat hilal maka rukyat tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri sama kedudukannya dengan kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.


Terjadinya perbedaan pendapat di dalam internal umat Islam dapat ditoleransi, selama termasuk pendapat Islami dan tidak menyebabkan perpecahan di tubuh umat Islam. Sedangkan perbedaan dalam menetapkan awal-akhir Ramadhan ini tergolong yang tidak bisa ditoleransi, sebab berdampak luas pada disintegrasi umat Islam,


Yaitu kekacauan dan ketidakbersamaan dalam melaksanakan ibadah puasa serta dalam menampakkan syi’ar hari raya. Perbedaan dalam hal ini bukan tergolong rahmat, sebab di dalamnya menyangkut halal-haram, serta perpecahan dunia Islam. Dari perbedaan awal-akhir Ramadhan ini, kita semua paham pentingya persatuan umat Islam di seluruh dunia tentunya.


Perbedaan awal-akhir Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun-tahun tertentu, sungguh sangat memalukan. Umat Nasrani saja bisa bersatu saat Natal 25 Desember, sebagaimana Yahudi, Budha, Hindu, mereka semua kompak dalam kebersamaan hari-hari besar perayaan agama mereka, mengapa umat Islam, sebagai umat terbaik tidak bisa?


Dari sini ada pelajaran penting yang amat berharga, umat Islam sangat memerlukan Institusi politik pemersatu, dengan kekuatan yang sanggup menyatukan Maroko hingga Merauke. Sehingga, ketika melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat Islam.


Imam al-Maziri (w. 1141 M) rahimahullah ketika mensyarah hadis-hadis Shahih Muslim tentang rukyatul hilal, memberi arahan kepada kita, tentang institusi politik seperti apa yang sanggup mempersatukan umat Islam dalam awal-akhir Ramadhan, ia menjelaskan:


إذا ثبت الهلال عند الخليفة لزم سائر الأمصار الرجوع إلى ما عنده … والفرق بين رؤية الخليفة وغيره أن سائر البلدان لمّا كانت بحكمه فهي كبلد واحد


Jika hilal telah terbukti oleh Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu … Sebab rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu negeri. (Al-Mu’lim bi Fawâ`id Muslim, II/44-45). Wallahu a’lam.[]



Jumat, 20 Agustus 2021

KAJIAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

 Jangan lewatkan kajian menarik seputar Sistem Pendidikan Islam bersama narasumber handal, Ust. Ir. Eri Taufik melalui kanal Youtube "Tsaqofia Channel"

Selamat mengambil manfaat yang besar!

Dan jangan lupa, LIKE & SUBSCRIBE serta share sebanyak-banyaknya, semoga menjadi pahala amal shaleh, Aamiin.


SILAHKAN KLIK TAUTAN DI BAWAH INI:



KAJIAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Senin, 05 April 2021

SISTEM EKONOMI ISLAM

VERSI ARAB:

AN NIZAM AL IQTISHADY

VERSI TERJEMAH (BELUM TERSEDIA)

Kamis, 11 Februari 2021

Rabu, 08 April 2020

MENYIKAPI PANDEMIK CORONA 2 (COVID-19) DARI A – Z



Oleh: Abdul Hanif | Majelis Tsaqofia


Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini mungkin lebih kepada curhatan isi hati saya, namun saya berharap ada manfaat yang bisa dipetik.

Sejak kemunculannya di Cina tepatnya di kota Wuhan pada akhir tahun 2019, Covid-19 kini tak sekedar wabah biasa lagi, tapi sudah menjadi pandemik yang menakutkan bahkan memberi ancaman serius terhadap keselamatan nyawa manusia. Sudah banyak negara yang menjadi tempat persinggahan si kecil berbahaya ini hingga mampu menguncang dunia dan menelan banyak korban.
Lantas bagaimana kita menyikapi pandemik Covid-19 ini?
Banyak ragam pendapat dan pandangan dalam menyikapi pandemik yang menakutkan ini mulai dari sudut pandang secara medis, agama, hingga politik. Bahkan ada yang mecoba menyangkutpautkan dengan konspirasi global. Tentu kita perlu menyikapinya dengan bijaksana dan berpikir mendalam agar tak salah kaprah dan asal tuduh.
Pertama, kita harus menyadari bahwa apa yang telah menimpa kita merupakan qadha dari Allah Swt. dan dalam hal ini kita wajib beriman dan ridha terhadap qadha Allah Swt. Tersebut.
Allah Swt berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Taghabun: 11)
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah: 51)
Kedua, kaum muslim harus semakin meningkatkan taqarrub kepada Allah dan segera bertaubat atas segala kesalahan yang dilakukan karena manusia tidak pernah terlepas dari berbuat dosa dan kesalahan, perbanyak do’a dan amal salih. Dengan demikian, kita akan dekat dengan Allah dan Allah pun akan mencintai kita. Jika Allah telah mencintai kita, bukan hal yang mustahil Allah akan segera mengakhiri pandemik Covid-19 yang menimpa kita saat ini.
Dalam sebuah hadits Qudsi dijelaskan:
وَمَايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذاَ أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ
“Tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah nafilah sehingga Aku mencintanya. Kalau Aku sudah mencintainya, maka aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya; dan Aku akan menjadi tangannya yang ia pergunakan; dan Aku akan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya akan Kuberi apa yang ia minta; dan jika ia memohon perlindungan pada-Ku niscaya Aku lindungi”  (lihat Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari, XI/341-345)
Ketiga, di samping beriman dan ridha terhadap qadha Allah, kaum muslim wajib untuk memaksimalkan ikhtiar dalam menghadapi sebuah musibah, termasuk dalam menghadapi pandemik Covid-19 ini. Islam telah memberikan tuntunan kepada kita dalam menghadapi sebuah wabah penyakit.
Dalam beberapa riwayat dijelaskan:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. al-Bukhari)
أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Sesungguhnya Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:
الطَّاعُونُ آيَةُ الرِّجْزِ ابْتَلَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ نَاسًا مِنْ عِبَادِهِ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَفِرُّوا مِنْهُ
“Wabah Tha’un adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah Tha’un, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, dan jika Tha’un telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya.” (HR. Muslim)
Beliau SAW juga bersabda:
لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ
“Janganlah kalian mencampurkan (unta) antara yang sakit dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari).
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ
Dari Ya’la bin ‘Atha dari ‘Amru bin al-Syarid dari bapaknya dia berkata; “Dalam delegasi Tsaqif (yang akan membaiat) terdapat seorang yang berpenyakit kusta. Maka Rasulullah SAW mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’” (HR. Muslim).
Hadits-hadits di atas memberikan penjelasan kepada kita bagaimana ikhtiar yang harus kita lakukan dalam menghadapi sebuah wabah penyakit berbahaya. Larangan memasuki wilayah yang terkena wabah, larangan keluar bagi orang yang tinggal di daerah yang terkena wabah, larangan mencampuradukkan antara yang sakit dan yang sehat, serta sikap khalifa Umar bin Khattab saat mendengar wabah penyakit di suatu daerah, semua itu memberikan indikasi kepada kita bahwa selain ridha terhadap qadha Allah, kita pun wajib untuk memaksimalkan ikhtiar dalam rangka mencegah dan menanggulangi penyebaran wabah penyakit.
Ditataran individu dan masyarakat, sejumlah protokol kesehatan wajib kita jalankan sebagaimana yang disarankan oleh para ahli kesehatan meskipun kita tidak berada di wilayah episentrum pandemik. Misalnya senantiasa mencuci tangan, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menggunakan masker saat keluar rumah, melakukan upaya social dan pysical distancing, tidak berjabat tangan, berdiam diri di rumah jika tidak ada keperluan mendesak, serta segera melapor dan memeriksakan diri apabila merasa kurang sehat atau baru pulang dari wilayah episentrum penyebaran penyakit.
Di samping itu, dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan kerjasama yang solid dan kesadaran dari seluruh warga masyarakat untuk saling menjaga dan memperhatikan diri dan lingkungan serta sigap menolong apabila ada yang sakit di lingkungan sekitar. In syaa Allah itu akan dicatat sebagai amal salih di sisi Allah. Dan ini merupakan wujud pengamalan dari qimah insaniyah (sisi nilai kemanusiaan) yang sangat dianjurkan oleh syariat.
Sementara itu, menyepelekan suatu wabah penyakit merupakan kekeliruan besar, terlebih Covid-19 merupakan pandemik yang mengancam keselamatan nyawa. Rasulullah menjelaskan:
فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسدِ
“Larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. al-Bukhari).
Sebagian ulama juga memahami bahwa penafian tersebut bermakna larangan, yakni larangan menularkan penyakit kepada yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah:
لا ضرر وضرار
“Tidak ada yang memudharatkan dan dimudharatkan.”
Ditataran negara, dalam hal ini penguasa atau pemerintah semestinya sigap dan cerdas melakukan tindakan dengan berpedoman kepada manajemen risiko saat pertama kali wabah penyakit itu muncul di suatu wilayah dan melakukan kebijakan LOCKDOWN di wilayah yang diduga menjadi episentrum (pusat awal) penyebaran wabah sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab saat mendengar berita wabah di salah satu daerah di wilayah Syam dengan memberlakukan lockdown di daerah tersebut sehingga wabah penyakit tersebut tidak menyebar ke daerah lainnya dan bisa menekan angka korban ke batas paling rendah. Dengan kebijakan lockdown di wilayah episentrum, maka daerah lain akan tetap bebas beraktivitas seperti biasa, bekerja, bermuamalah dan beribadah tanpa dihantui rasa takut. Dengan demikian, atmosfir roda perekonomian akan tetap terjaga dan bahkan wilayah yang tidak terdampak dapat membantu wilayah episentrum yang di lockdown dari sisi ekonomi dan kesehatan.
Negara pun wajib menjamin kebutuhan pokok penduduk di wilayah yang di lockdown secara gratis, terlebih hal itu telah dijamin oleh Undang-Undang. Negara pun wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai untuk menanggulangi dan mengobati pasien yang terinfeksi wabah, memberikan alat perlindungan diri (APD) yang memadai kepada para tenaga medis sehingga jatuhnya korban dari kalangan tenaga medis dapat diminimalisir, dan fasilitas kesehatan disediakan bagi rakyat secara cuma-cuma karena menjaga keselamatan nyawa rakyat adalah tanggung jawab negara.
Namun sayangnya, negeri kita sudah terlambat karena kekeliruan dari kebijakan yang diambil pemerintah dengan tidak melakukan lockdown di wilayah episentrum dalam hal ini adalah Jakarta. Akibatnya sekarang wabah Covid-19 sudah menyebar ke berbagai wilayah secara tak terkendali. Dari hari ke hari korban positif corona 2 terus bertambah dengan angka yang cukup tinggi perharinya.
Peran negara sangat sentral dalam penanganan suatu wabah penyakit. Jika pemerintah kurang tepat dalam mengeluarkan kebijakan dalam mengatasi wabah penyakit, maka akibatnya bisa fatal, banyak nyawa yang akan menjadi korban keganasan wabah suatu penyakit tak terkecuali tenaga medis.
Keempat, terkait pelaksanaan ibadah shalat berjamaah dan shalat jumat, maka saya coba mengutip sebagian isi tulisan guru saya, Ust. Yuana Ryan Tresna (Pengasuh Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung) sebagai berikut:
“Oleh karena itu, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 sudah tepat. Beberapa ketentuan berdasarkan penjelasan para para ahli fikih di atas adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zhuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar;
  2. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya;
    2. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun. Jika kami tambahkan, bisa juga dengan membuat jarak dalam shaf (para ulama membolehkan/shalatnya tetap sah, meski makruh). Demikian juga dengan shalat Jumat, bisa dilakukan dengan pembatasan dalam jumlah minimal (Seperti madzhab Hanafi minimal 3 orang, madzhab Maliki minimal 12 orang, madzhab Syafi’i minimal 40 orang, dst.);
  3. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zhuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim;
Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.”
Catatan dari saya, sekalipun di daerah yang tingkat penularannya masih rendah dan boleh melaksanakan ibadah di mesjid seperti biasanya, tetapi tetap harus memperhatikan dan menjalankan protokol kesehatan dan keselamatan baik oleh pihak DKM dengan membersihkan mesjid secara rutin, maupun oleh jamaah dengan memeriksa kesehatan terlebih dahulu sebelum ke mesjid misalnya mengecek suhu tubuh, dll., membawa sejadah sendiri, mengenakan masker, dan selalu dalam keadaan sudah bersuci dari rumah.
Dan berikut saya kutip salah satu hadits (dari soal jawab KH. M. Shiddiq al-Jawi) yang berkaitan dengan rukhshah dalam ibadah shalat jumat dengan mengacu pada ketentuan di atas:
عن ابن عباس قال قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم من سمع المنادي فلم يمنعه من اتِّباعه عذرٌ قالوا وما العذر؟ قال خوفٌ أو مرضٌ لم تقبل منه الصَّلاة الَّتي صلّى
Dari Ibnu ‘Abbas RA, dia berkata,”Telah bersabda Rasulullah SAW,’Barangsiapa yang mendengar muadzdzin kemudian tidak mencegahnya untuk mengikutinya kecuali ada udzur –para shahabat (menyela) bertanya,’Apa udzurnya?’ Rasulullah SAW menjawab,”Rasa takut (khauf) atau sakit (maradh).’– maka tidak diterima darinya sholat yang telah dia kerjakan.” (HR Abu Dawud, no. 551; Tirmidzi, no. 217; Ibnu Majah, no. 793; Al Hakim, no 891; Ibnu Hibban, no. 2064; dan Daraquthni, no. 1574).
Hadis tersebut statusnya shahih. Imam Al Hakim mengatakan, “Shahih ‘ala syarth al shahihain” (Haditsnya shahih mengikuti syarat Bukhari dan Muslim). (Al Hakim, Al Mustadrak, Juz I, hlm. 193).
Para fuqaha menjelaskan bahwa udzur yang berupa “khauf” (rasa takut) yang dimaksudkan dalam hadits tersebut ada 3 (tiga) macam, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :
ويعذر في تركها الخائف لقول النبي صلى الله عليه وسلم العذر خوف أو مرض، والخوف ثلاثة أنواع خوف على النفس وخوف على المال وخوف على الأهل
“Dan diberi udzur untuk meninggalkannya (sholat Jumat) orang yang takut (al khaa`if), berdasarkan sabda Nabi SAW,”Udzur itu adalah khauf (rasa takut) dan sakit (maradh).” Dan khauf itu ada tiga macam : khauf ‘ala an nafsi (takut akan kerselamatan jiwa), khauf ‘ala al maal (takut akan kehilangan harta), dan khauf ‘ala al ahli (takut akan keselamatan keluarga). (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz I, hlm. 451).
Kelima, taati setiap syariah Allah tanpa memilih dan memilah karena dalan setiap pelaksanaan syariah Allah, pasti ada manfaat yang dapat dituai.
Perhatikan hadits berikut:
وَمَاتَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ«
“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Ku sukai dari pada menjalankan kewajibannya   (Shahih Bukhari Juz XI, hal. 299, 297 )

Selalu mengonsumsi makanan yang halal dan baik yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena itulah yang terbaik bagi kita dari pencipta kita.
Keenam, pelajaran paling penting bagi kita dari wabah corona 2 ini adalah bahwa Islam telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah keKhilafahan, bagaimana khilafah telah mampu menyelesaikan masalah wabah penyakit secara utuh dan tuntas dan dalam waktu yang relatif singkat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab.
Sistem Islam telah mampu memberikan perlindungan dalam batas yang paling maksimal terhadap manusia karena dalam Islam satu nyawa manusia itu jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Berbeda dengan sistem kapitalis dan sisoalis saat ini, meskipun terlihat mampu menghadapi pandemik corona, tetapi hakikatnya mereka rapuh, ekomoni global menjadi lesu dan morat-marit.
Di samping itu, penerapan sistem interaksi sosial yang khas dalam sistem islam (khilafah) turut andil memperkecil ruang gerak penyebaran wabah penyakit. Misalnya dalam islam ada larangan pergaulan bebas seperti ikhtilath (campur-baur antara pria dan wanita yang bukan mahram), larangan berkhalwat, sampai berzina.
Sementara dalam sistem kapitalisme dan sosialisme tidak terdapat aturan sistem interaksi sosial khas seperti itu. yang ada adalah kebebasan yang kebablasan.
Sebagai contoh, tingginya angka kasus positif Covid-19 di Eropa dan Amerika saat ini salah satu faktor penyebabnya adalah pergaulan bebas, adanya ikhtilath, khalwat, berpegangan tangan, ciuman, hingga perzinaan.
Social dan pysical distancing sebenarnya sudah diajarkan 1400 tahun yang lalu dalam Islam dan diterapkan praktis oleh negara (khilafah) dengan adannya larangan ikhtilath, khalwat, dan berzina.
Jadi, solusi tuntas dan terbaik dalam mengatasi wabah pandemik corona ini adalah dengan khilafah. [AH]
Tambahan
(Diambil dari Tulisan Ust. Yuana Ryan Tresna)
Seputar hadits-hadits dha’if (lemah) tentang “Mesjid tempat berlindung dari penyakit”
Pertama, dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ.
“Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.”  (HR. Ibnu Asakir dan Ibnu Adi).
Pada sanad hadits tersebut ada rawi bernama Zafir bin Sulaiman, para ulama seperti Ibn ‘Adi mengomentari dalam kitabnya al-Kamil: “Pada sanad ini terdapat Zafir bin Sulaiman, hadits-hadits yang diriwayatkannya terbalik-balik sanad dan matannnya. Secara umum, hadits yang diriwayatkannya tidak memiliki tabi’ dan hadisnya ditulis dengan menyertakan kedhaifannya.”
Ibn Hajar mengomentari dalam al-Taqrib: shaduq banyak sekali kekeliruan dalam hadisnya, dan menyebutkan dalam Mathalib al-‘Aliyah dengan sebutan: Ia dhaif.
Kedua, hadits dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda:
إِذا أرَادَ الله بِقَوْمٍ عاهةً نَظَرَ إِلَى أهْلِ المَساجِدِ فَصَرَفَ عَنْهُمْ
“Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.” (HR. Ibnu Adi, al-Dailami, Abu Nu’aim dan al-Daraquthni).
Hadits ini dinilai dhaif, gharib (munkar) oleh Imam Ibn Katsir, dimana beliau menyatakan dengan menukil ucapan Imam al-Daraquthni.
Ketiga, shahabat Anas bin Malik ra berkata: “Aku mendengar Rasulullah  SAW bersabda:
يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” إِنِّي لَأَهُمُّ بِأَهْلِ الْأَرْضِ عَذَابًا فَإِذَا نَظَرْتُ إِلَى عُمَّارِ بُيُوتِي والْمُتَحَابِّينَ فِيَّ والْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ صَرَفْتُ عَنْهُمْ “
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka. (HR. al-Baihaqi, dalam Syu’ab al-Iman)
Pada semua jalur sanad hadits di atas, berpangkal pada rawi bernama Shalih al-Marri. Para ahli hadits menilai sebagai rawi yang munkar.
Keempat, al-Imam al-Sya’bi, ulama salaf dari generasi tabi’in ra berkata:
“كَانُوا إِذَا فَرَغُوا مِنْ شَيْءٍ أَتَوُا الْمَسَاجِدَ “
“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid.” (HR. al-Baihaqi, dalam Syu’ab al-Iman).
Perlu diketahui riwayat ini maqthu dari al-Syabi’, sehingga tidak layak dijadikan sebagai hujjah. Sebenarnya atsar ini statusnya hasan, namun seringkali keliru menerjemahkan kalimat “faraghu”, yang ia artikan “apabila ketakutan”. Semestinya diartikan “apabila selesai dari suatu hal”.
Itu adalah dari tinjauan kritik sanad. Kita akui bahwa tidak semua kedhaifannya parah. Ada beberapa yang dhaif ringan, sehingga masih memungkinkan digunakan dalam fadha’il al-mal tentang keutamaan masjid. Namun hadits-hadits di atas tidak lolos dari aspek kritik matan.
Dalam tinjauan kritik matan, hadits tersebut bertentangan dengan matan hadits lain yang lebih kuat. Misalnya hadits riwayat imam al-Bukhari yang menegaskan bahwa jika Allah menurunkan adzab, maka semua pasti kena, baik kepada orang shalih maupun ahli maksiat; apakah ahli masjid ataupun yang tak pernah ke masjid.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا أَصَابَ الْعَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
“Ibnu Umar ra. mengatakan, Rasulullah SAW  bersabda: “Jika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan mengenai siapa saja yang berada di tengah-tengah mereka, lantas mereka dihisab sesuai amalan mereka.” (HR. al-Bukhari).
Demikian juga jika dikaitkan dengan adanya penyebaran wabah penyakit, justru kita diperintahkan untuk melakukan isolasi diri dan mengisolasi yang lain, atau dalam istilah adalah lockdown. Haditsnya sudah kami sampaikan pada bagian sebelumnya.
Adapun jaminan Allah bagi orang yang memakmurkan masjid adalah terkait pentunjuk (hidayah). Allah SWT berfirman:
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS. At-Taubah: 18).
Dengan demikian, dalam kondisi tersebarnya wabah penyakit dengan penularan yang tinggi dan tak terkendali, tidak tepat jika malah berkumpul dalam jumlah besar di masjid-masjid. Masjid bukan tempat berlindung dari penyakit. Masjid adalah tempat bagi umat Islam beribadah dan bertaubat.


 
×
Judul